Ibu kota lebih kejam dari Ibu tiri
Frasa yang sering digunakan untuk menggambarkan beratnya hidup di Jakarta.
source: google.com
Ibu Kota memang kejam bagi yang baru datang ke Jakarta. Kenapa? Yuk simak!
Pengalaman ini didapat ketika saya berada di Jakarta untuk bekerja. Ya kerja. Yang menurut orang bekerja di Jakarta itu dapat gaji besar. Tapi ternyata tidak. Semuanya butuh proses.
Waktu itu saya hanya digaji sebesar UMK Jakarta. Ya insyaAllah cukup.
Tapi ternyata...
Oke, saya memang banyak teman di Jakarta. Tapi hanya satu orang yang dekat karena lokasi kami berdekatan. Lokasi dengan teman yang lain cukup jauh. Ya Allah, aku harus kuat!
Sewaktu istirahat jam kerja, saya sendirian karena yang lain dibekali makan siang oleh istrinya. Sebenarnya tempat makan yang dekat dengan kantor agak kotor. Tapi ya mau gimana. Saya hanya tahu tempat makan itu. Jadinya tetap makan di situ. Dua minggu kemudian, saya baru mendapat teman. Itupun vendor sebelah. Ya alhamdulillah ada teman makan. Jadi ada pilihan tempat lain, yang lebih bersih. Tapi ketika weekend, saya kebingungan cari makan. Yang dekat hanya mall. Ya terpaksa makan junk food walau uang pas-pasan. Padahal mama selalu tanya "udah makan? uangnya masih ada buat makan?". Sedih kalo diinget. Karena kadang ga makan :(
Empat bulan berjalan.. Saya merasa jenuh dan capek. Mungkin karena kegiatannya itu-itu saja. Btw, saya tidak terlalu nyaman dengan yang kegiatannya berulang. Jadi merasa stuck. Hingga saya berdoa "Ya Allah.. ijinkan saya untuk istirahat, saya lelah" sehabis shalat.
Bulan kelima, saya sudah tidak di klien alias kembali ke kantor. Tidak lama dari situ, sayapun bertemu dengan beberapa teman baru. Salah satunya dari acara gathering komunitas. Diapun berdomisili dan kerja di Jakarta. Ternyata juga kantor kami berdekatan. Jadilah dekat. Dia sempat bilang "Vi, wajah kamu pucat". Tapi saya hanya respon "oh mungkin kecapean. tadi udah makan kok".
Hingga suatu hari ketika bangun tidur, tenggorokan saya kayak ada yang menghalangi. Saya mendeham dan minum air hangat, tapi tidak ada perubahan. Ketika di kantor, bilang ke teman, dia membelikan saya larutan karena mungkin katanya panas dalam.
Keesokan harinya, tenggorokan saya makin parah. Ditambah demam pada sore hari. Tapi ketika pagi, demamnya hilang. Saya tetap ke kantor. Menjelang sore hari, demam lagi. Akhirnya ijin pulang cepat dan diantar pulang oleh teman saya.
Besoknya hari Sabtu, jadi saya berobat. Ditemanin teman saya itu. Dicek oleh dokter, diminta tes urine. Nunggu sejam kalau tidak salah. Selama 1 jam itu, saya diinfus, karena tenggorokan saya sakit, tidak masuk makanan. Setelah ada hasil, ternyata typus (-)
Huaaa rasanya ingin nangis. Sakit terparah yang dialami seumur hidup.
Alhasil, saya mengajukan resign ke kantor. Kemudian pulang ke Bandung (dijemput mama) dengan kondisi sedang sakit.
Halo Ibu Kota. Sampai jumpa di lain kesempatan!
Terima kasih atas rasa sakitnya.
Saya sulit menemukan warung nasi yang tempatnya bersih dan higienis.